Menu Close

Dari KUHP sampai Tragedi Kanjuruhan: kekerasan dan impunitas aparat menguat, perlindungan HAM melemah

Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka Jakarta. Wahyu Putro A/Antara Foto

Peringatan Hari Hak Asasi Manusi (HAM) Sedunia, yang jatuh pada 10 Desember setiap tahunnya, kali ini menjadi saksi bisu suramnya wajah penegakan HAM di Indonesia selama setahun terakhir.

Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 6 Desember lalu semakin memperkuat upaya dan pembiaran negara dalam berbagai peristiwa pelecehan dan intimidasi terhadap warga negara, pembatasan terhadap kebebasan sipil, serta diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Ini belum termasuk dosa pemerintah atas sejumlah kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Ini bukan hanya membuktikan negara tidak serius melindungi HAM di dalam negeri, tapi juga mencoreng wajah Indonesia di mata dunia dalam bidang pemajuan dan penghormatan HAM.

Ruang kebebasan sipil semakin tergerus

Pengesahan KUHP menjadi satu dari sekian banyak bukti bahwa kebebasan sipil maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia, terutama dari kaum marjinal dan minoritas, masih terancam. Ini membahayakan HAM secara umum.

Aturan baru ini, yang pembahasannya memakan waktu lebih dari 60 tahun, memuat sejumlah pasal yang bertentangan dengan prinsip HAM internasional. Di antaranya adalah pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah, penyiaran “berita bohong”, penyelenggaraan aksi protes (demonstrasi) tanpa izin, penghinaan terhadap lembaga negara, serta pencemaran nama baik.


Read more: Panel ahli: KUHP baru terlalu privat, anti demokrasi, dan membuat masyarakat rentan dipenjara


Sebelum KUHP disahkan saja, kebebasan berekspresi – salah satu pilar utama kebebasan sipil – sudah mengalami penurunan. Pasal pencemaran nama baik dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap menjadi senjata untuk menjerat dan mengkriminalisasi warga negara, seperti jurnalis yang melaporkan kasus korupsi, akademisi yang mengkritik kebijakan universitas, dan konsumen yang membuat ulasan kritis.


Read more: Kritik berujung somasi: mengingatkan kembali bahaya pembungkaman kebebasan berpendapat terhadap konsumen


Data yang dihimpun oleh Amnesty International Indonesia mengungkap bahwa selama tahun 2022, UU ITE digunakan pada setidaknya 37 kasus pelanggaran atas kebebasan berekspresi dan telah memakan 46 korban. Sebelas kasus di antaranya merupakan hasil patroli polisi virtual.

Dengan adanya KUHP ini, jelas bahwa kebebasan ruang sipil semakin menyempit dan mengkhawatirkan.

KUHP yang baru juga berpotensi menghilangkan kekhususan asas retroaktif yang terdapat dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Konsekuensinya, segala pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya aturan ini, tidak dapat diproses hukum. Hal ini jelas mengancam hak korban atas keadilan.


Read more: Menyempitnya ruang sipil: Bagaimana kelompok pembela HAM kini makin rentan dikriminalisasi oleh negara


Ini pukulan telak bagi korban dan keluarga korban yang telah memperjuangkan keadilan selama puluhan tahun. Padahal, Indonesia memiliki citra yang masih relatif baik di mata internasional. KUHP ini jelas akan mencederai wajah Indonesia karena Indonesia telah meratifikasi sembilan perjanjian internasional HAM utama.

Tindakan aparat yang represif dan berlebihan

Masih hangat dalam ingatan masyarakat Indonesia akan tragedi kelam yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, usai pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022.

Terjadi insiden penembakan gas air mata ke arah tribun pendukung Arema yang membuat para penonton lain bergegas membubarkan diri keluar stadion, lalu terjadi penumpukan massa di pintu keluar tribun. Setidaknya 134 orang tewas dan lebih dari 400 lainnya luka-luka karena sesak napas dan terinjak-injak akibat berdesakan.

Berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM, aparat kepolisian menembakkan setidaknya 45 tembakan gas air mata di dalam stadion pada malam itu, dan tembakan tersebut dilakukan tanpa koordinasi dengan Kapolres Malang.

Gas air mata sebenarnya tergolong sebagai senjata yang kurang mematikan (less-lethal weapon) – sehingga menjadi alternatif dari penggunaan senjata api konvensional. Tapi, polisi seharusnya paham bahwa jika ini digunakan dalam konteks dan cara yang berlebihan, dampaknya tetap dapat mematikan.

Ini contoh bagaimana aparat keamanan masih menggunakan kekuatan berlebihan dan melanggengkan budaya kekerasan dalam menghadapi masyarakat sipil. Budaya kekerasan ini juga yang menjadi salah satu pemicu dari tindak penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Contoh kasus penyiksaan oleh anggota kepolisian adalah kasus Arfandi Ardiansah, 18 tahun, pada Mei 2022. Arfandi tewas usai ditangkap tim Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Makassar di Jl. Terowongan Rappokalling Barawaja, Kota Makassar.

Beberapa saat setelah diinterogasi oleh polisi, Arfandi kemudian dibawa ke rumah sakit dengan luka memar di tubuhnya (muka, tangan bagian siku, telapak tangan dan kaki). Dalam perjalanan dari tempat interogasi itulah ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Situasi ini sangat mengkhawatirkan. Berbagai standar HAM internasional telah menyatakan bahwa hak untuk terbebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya bersifat absolut. Artinya, tidak ada alasan apa pun yang dapat menjustifikasi praktik penyiksaan oleh dan kepada siapa pun, dalam situasi apa pun.

Pembunuhan di luar hukum masih terjadi

Penegakan terhadap kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan masih dilakukan setengah hati. Baru-baru ini, Majelis Hakim Pengadilan HAM di Makassar memvonis bebas mantan perwira penghubung pada Kodim Paniai, Mayor Infantri (Purnawirawan) Isak Sattu yang diduga bertanggung jawab atas dugaan tragedi pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua, yang terjadi pada 2014.

Ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa pemerintah dan aparat hukum masih melanggengkan praktik impunitas. Proses peradilan menjadi tidak berorientasi terhadap pemenuhan hak-hak korban, khususnya hak atas keadilan dan kebenaran. Konsekuensi ke depannya, pembunuhan di luar hukum oleh aparat negara, utamanya di wilayah Papua, berpotensi untuk terus berulang.

Menurut catatan Amnesty, sepanjang 2022 ada setidaknya 14 kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua. Korbannya mencapai 36 orang. Lima kasus di antaranya melibatkan terduga pelaku dari anggota Polri dan TNI.

Sederet tindak kekerasan dan represi aparat yang terjadi setahun terakhir ini, ditambah bagaimana pejabat negara kerap menghasilkan aturan yang semakin mengkriminalisasi masyarakat sipil, mengingatkan kita akan corak otoritarianisme khas rezim Orde Baru. Negara seolah merasa berhak membatasi ruang gerak warganya di luar ketentuan yang diperbolehkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Ke depannya, harus ada dorongan untuk perbaikan sistem secara keseluruhan. Dan masyarakat sipil adalah kunci ketahanan dan kemajuan HAM di Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 184,500 academics and researchers from 4,974 institutions.

Register now