Menu Close

Ini cara usaha makanan laut skala kecil bertahan selama pandemi

file igs p.

Rio (bukan nama sebenarnya), salah satu pengusaha pengolahan kepiting dan siput laut asal Langkat, Sumatra Utara, mengalami kerugian sejak bulan Februari 2020.

Pada bulan tersebut, bisnis Rio biasanya sibuk dengan permintaan ekspor makanan laut ke Cina dan Hong Kong untuk perayaan Tahun Baru Cina.

Sama seperti usaha makanan laut skala kecil di seluruh dunia, Rio telah merasakan dampak COVID-19.

Saat awal pandemi, kombinasi antara karantina komunitas dan risiko kesehatan publik dengan pembatasan pergerakan pekerja dan perdagangan makanan laut memaksa komunitas nelayan skala kecil di beberapa bagian dunia untuk menutup bisnis mereka.

Mereka berada dalam keadaan ekonomi dan sosial yang tidak pasti.

Beberapa pedagang kecil makanan laut lokal, contohnya pedagang along-along di Indonesia, yang menjual ikan, sayuran, dan makanan lain dengan menggunakan sepeda motor, akhirnya beradaptasi.

Mereka dapat terus menjual makanan laut meski pun pandemi.

Bagaimana mereka bisa bertahan?

Apa yang membantu atau menghambat pasokan makanan laut skala kecil saat mereka menghadapi ketidakpastian akibat COVID-19?

Dalam artikel terbaru, kami mendokumentasikan dampak dan reaksi awal dari pandemi di tujuh rantai pasokan makanan laut di Indonesia, India, Peru, dan AS.

Temuan kami memaparkan bagaimana meningkatkan kemampuan adaptasi para pekerja perikanan dan makanan laut skala kecil untuk menghadapi guncangan di masa depan.

Bertahan saat pandemi

Beberapa negara, seperti India dan Peru, telah mengabaikan peran penting perikanan dan penjualan makanan laut dalam mempertahankan mata pencaharian dan menyediakan pangan.

Sektor ini tidak dianggap sebagai jasa yang penting dan tidak diizinkan untuk terus beroperasi, meski memiliki kontribusi ekonomi bagi masyarakat.

Makanan laut adalah jenis pangan paling banyak diperdagangkan di dunia.

Sekitar 81% hasil tangkapan dari perikanan skala kecil dijual untuk konsumsi lokal.

Sektor makanan laut skala kecil mempekerjakan 32 juta nelayan dan 78 juta individu yang terlibat dalam pemrosesan dan penjualan, secara global.

Rantai pasokan makanan laut penting secara ekonomi untuk perdagangan dan mata pencaharian, sekaligus krusial bagi sistem pangan.

Perdagangan internasional mendukung mata pencaharian pekerja di sektor perikanan, tetapi juga membuat mereka terpapar akan risiko pasar global.

Ketika COVID-19 mulai mengganggu perdagangan internasional, pekerja yang terlibat dalam ekspor memiliki sedikit pilihan, selain menjual secara lokal.

Ini tidak selalu berhasil karena ada perbedaan preferensi.

Misalnya, cumi-cumi jumbo dikonsumsi di Peru, tetapi tidak dalam volume atau bentuk untuk pasar internasional.

Dalam beberapa kasus, daerah produksi tinggi seperti Langkat atau wilayah pesisir Peru mengalami kelebihan produk di pasar lokal.

Akibatnya, harga jatuh.

Partisipasi dalam berbagai rantai pasokan, terutama skala kecil dan lokal, akan membantu pekerja perikanan menghadapi guncangan ini.

Misalnya, konsumsi telur bulu babi atau uni biasanya terbatas di restoran di California, AS.

Akibat penutupan restoran, beberapa nelayan dan penjual uni beralih dengan mengajari pelanggan cara menangani dan mempersiapkan uni di rumah.

Ini membuat penjualan langsung lebih mudah.

Contoh lainnya, nelayan kerapu di Kepulauan Andaman, India, beralih dari rawai multi kait ke jaring.

Ini memungkinkan mereka untuk menangkap ikan yang berbeda dan menjualnya ke pasar lokal.

Demikian pula, nelayan Peru di lepas pantai dan laut lepas beralih ke penangkapan ikan di dekat pantai.

Dengan melakukan ini, mereka berkontribusi pada ketahanan pangan lokal sambil memperoleh pendapatan dari berbagai sumber.

Rantai pasokan makanan laut terbentang dari lokal (tengah) hingga global (lingkar luar) dan mencakup berbagai pelaku (ikon/titik). Pandemi COVID-19 menyebabkan beberapa kegiatan meningkat (biru), berkurang (hijau), atau menjadi tidak aktif (kuning) untuk rantai pasokan, seperti bisnis ekspor di Langkat (LE) dan pedagang lokal (LD), perikanan kerapu Kepulauan Andaman (AE) dan perikanan lokal berbasis jaring (AD), perikanan artisanal untuk ekspor di Peru (PE) dan domestik (PD), dan perikanan bulu babi laut merah (CU) di California.

Pada penelitian kami, beberapa individu dan organisasi dengan cepat mengubah strategi pemasaran mereka dan menyesuaikan diri dengan peraturan terkait pandemi.

Jaringan organisasi perikanan dan hubungan dengan konsumen membantu mengembalikan orientasi pasokan.

Misalnya, asosiasi perikanan Peru, yang biasanya aktif secara sosial dan politik, mulai memasarkan makanan laut melalui rantai pasokan lokal.

Di India, Dakshin Foundation dan organisasi nirlaba lainnya memanfaatkan jaringan, seperti National Fishworkers Forum dan bermitra dengan asosiasi perkapalan di beberapa negara bagian pesisir, termasuk Andaman, untuk mendistribusikan bantuan makanan di komunitas nelayan dan membantu para pekerja perikanan yang terdampar kembali ke rumah.

Teknologi komunikasi membantu nelayan dan pedagang terhubung dengan jaringan dan menggeser rantai pasokan. Christopher Giordano

Dengan terbatasnya tatap muka, maka nelayan dan pedagang menggunakan aplikasi, seperti WhatsApp, untuk berkomunikasi dengan pekerja lainnya dan terhubung dengan pembeli lokal.

Di Kepulauan Andaman, komunitas menggunakan WhatsApp untuk mengoordinasikan bantuan.

Sementara, di Peru, aplikasi ini berguna untuk mendirikan jaringan distribusi ikan secara informal.

Hal ini memungkinkan penjual ikan untuk meluncurkan layanan baru, seperti pengiriman langsung ke pelanggan.

Tuna Harbor Dockside Market di California dengan cepat mengembangkan platform daring untuk menjual langsung ke konsumen.

Pada saat yang sama, ini meningkatkan kehadiran media sosial mereka.

Peralihan ke pasar daring memungkinkan beberapa penjual ikan menjangkau pembeli yang lebih luas.

Apa langkah berikutnya?

Pandemi COVID-19 telah mengungkap banyak kelemahan dalam rantai pasokan makanan laut skala kecil.

Tetapi, juga memperlihatkan beberapa strategi untuk beradaptasi apabila terjadi guncangan skala besar.

Dalam kasus yang kami teliti, aksi ini berkontribusi pada mata pencaharian dan distribusi makanan laut bisa berlanjut selama pandemi.

Keberhasilan dan kegagalan strategi yang diadopsi oleh individu dan organisasi dalam sektor ini menawarkan pelajaran yang jelas bagi pembuat kebijakan, publik dan lembaga pembangunan.

Pembuat kebijakan dapat mengenali perikanan skala kecil sebagai pemasok pangan yang penting, sementara pasar lokal mendukung bisnis kecil dan komunitas nelayan untuk membantu rantai pasokan beradaptasi dengan gangguan.

Terkait teknologi, LSM, lembaga-lembaga pembangunan, dan sektor teknologi dapat membantu mengembangkan jaringan sosial dan teknologi digital untuk tujuan tersebut.

Pelajaran ini dapat menjadi salah satu pijakan dalam adaptasi terhadap perubahan iklim dan prediksi ancaman lainnya terhadap rantai pasokan makanan laut di Indonesia dan seterusnya.


Sonia Sharan dari Oceana dan Christopher Giordano dari Future of Fish adalah co-author penelitian ini dan berkontribusi pada artikel ini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 185,900 academics and researchers from 4,984 institutions.

Register now