Sudahkah partai-partai di Indonesia memaksimalkan potensi media sosial untuk mendulang pemilih di pemilu?
Sandiaga Uno (kiri) akan bertarung melawan Ma'ruf Amin untuk merebut kursi wakil presiden di pemilihan presiden tahun 2019.
Wikimedia commons, diedit oleh Triasa/The Conversation
Burhanuddin Muhtadi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Arya Fernandes, Centre for Strategic and International Studies, Indonesia; Ella S. Prihatini, The University of Western Australia, and Nyarwi Ahmad, Universitas Gadjah Mada
Kami meminta para ahli untuk menjelaskan apa yang melatarbelakangi keputusan mendadak dalam memilih calon wakil presiden untuk pemilihan berikutnya.
Calon wakil presiden menentukan kemenangan calon presiden dalam pilpres 2019 mendatang.
www.shutterstock.com
Praktik jual beli suara sangat mengakar di Indonesia disamping penolakan dari masyarakat dan fakta bahwa praktik ini hanya sedikit mempengaruhi hasil pemilihan.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengganti strategi kampanyenya menjelang pemilihan umum 2019 untuk menjaring suara pemilih muda.
Eka Nickmatulhuda/AAP
Foto Presiden Joko “Jokowi” Widodo bergaya dengan motor besar, sepatu Vans dan jaket jeans ketika berkunjung ke Sukabumi, Jawa Berat jadi viral di media sosial. Apakah ada makna di balik itu?
Kita perlu menemukan strategi agar keterlibatan kita dalam media sosial tidak akan membahayakan hubungan yang kita punyai sekarang.
www.shutterstock.com
Michael Wade, International Institute for Management Development (IMD)
Bagaimana ilmu perilaku berbasis data diuji coba dalam dunia politik.
Kecenderungan polarisasi politik di Indonesia efek dari kampanye ketat dan brutal selama pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu antara Presiden Joko Widodo (kiri) dan Prabowo Subianto.
REUTERS/Darren Whiteside/Beawiharta
Testriono, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Asalkan eksploitasi politik identitas dihindari dan publik menahan diri dari menyebar kabar bohong, polarisasi bisa bermanfaat.
Secara umum jumlah calon legislatif (caleg) perempuan dari tujuh partai yang bersaing di tiga pemilu legislatif lampau terus meningkat. Lalu mengapa jumlah perempuan yang terpilih tidak bisa meningkat secara maksimal?
Reuters/Beawiharta
Ella S. Prihatini, The University of Western Australia
Kuota gender yang mewajibkan partai untuk menempatkan perempuan sedikitnya 30 persen di daftar calon tetap (DCT) belum mendongkrak keterpilihan perempuan secara signifikan.
Director for Presidential Studies at Department at Digital Media and Communication Research Center, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada